Apa itu perubahan
iklim?
Dalam artikel ini akan dibahas tentang perubahan iklim, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang didasari dari UNFCCC, Kyoto Protocol, Paris Agreement, sampai NDC.
Sebagian
dari kita mungkin menganggap bahwa cuaca dan iklim itu memiliki arti yang sama.
Namun, sebenarnya cuaca dan iklim itu memiliki arti yang berbeda. Cuaca
merupakan keadaan atmosfer dalam periode yang pendek mulai dari menitan hingga
harian. Sedangkan iklim merupakan kondisi atmosfer yang berada pada periode
lebih lama (tahunan atau lebih dari 30 tahun). Lalu apa itu perubahan iklim?
Hasil
penelitian telah mengungkapkan bahwa bumi secara global telah mengalami perubahan
nyata terkait perubahan iklim. Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC), pada laporan
kajian ke-5 menyatakan bahwa suhu bumi telah mengalami peningkatan 0,8oC
selama abad terakhir. Dari dokumen tersebut juga dijelaskan bahwa pada akhir
2100, suhu permukaan bumi (global) diperkirakan akan naik sekira 1,8 – 4oC
jika dibandingkan dengan rata-rata suhu pada 1980 – 1999. Hal ini jelas bahwa
suhu bumi telah menjadi jauh lebih panas dan diperkirakan akan terus mengalami
pemanasan. Peningkatan suhu global yang secara periodik naik disebut dengan
pemanasan global (global warming). Pemanasan
global tentunya akan berdampak pada perubahan iklim.
United Nations
Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) mengungkapkan terdapat peningkatan permukaan air laut yang dimulai
sejak abad ke-19 hingga saat ini sebagai salah satu dampak dari perubahan iklim
yang dipicu oleh pemanasan global. Selain itu, pegunungan glister dan tutupan salju rata-rata berkurang pada kedua kutub bumi
yang berkontribusi terhadap kenaikan muka air laut. Hal utama yang harus
menjadi perhatian kita saat ini adalah perlunya dilakukan upaya-upaya adaptasi
dan mitigasi perubahan iklim dengan tujuan untuk menekan peningkatan dampak
perubahan iklim sebagai akibat dari pemanasan global.
Diawal
telah jelaskan perbedaan antara cuaca dan iklim. Berdasarkan hal tersebut, maka
iklim secara umum dapat diartikan sebagai rata-rata cuaca pada periode
tertentu. Karena cuaca merupakan keadaan atmosfer pada suatu saat di waktu tertentu,
maka iklim dapat berubah secara terus-menerus dari waktu-kewaktu. Iklim dapat
berubah secara terus-menerus terutama disebabkan oleh adanya inteaksi antara
komponen-komponennya dan faktor eksternal, seperti variasi sinar matahari,
erupsi vulkanik, akibat kegiatan manusia (perubahan penggunaan lahan dan
penggunaan bahan bakar fosil). Pada 1992 UNFCCC telah mendefinisikan tentang
perubahan iklim. Menurut UNFCCC, perubahan iklim merupakan suatu bentuk
perubahan yang terjadi atas iklim sebagai konsekuensi dari aktivitas manusia
secara langsung maupun tidak langsung yang mengubah komposisi atmosfer global
dan variabilitas iklim alami pada periode waktu yang dapat diperbandingkan.
Sedangkan menurut IPPCC, perubahan iklim merupakan suatu bentuk perubahan atas keadaan
iklim yang dapat didefinisikan (misalnya melalui tes statistik tertentu) dengan
adanya perubahan rata-rata dan variabilitas komponen-komponennya yang terjadi
dalam jangka Panjang, umumnya selama satu dekade atau lebih lama. Pemerintah
Indonesia juga telah mendefinisakan tentang perubahan iklim yang mengadopsi
secara langsung definisi yang telah disebutkan dalam UNFCCC. Definisi perubahan
iklim tertuang dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang tersebut juga telah memberi payung
hukum dengan jelas terkait dengan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi atas
perubahan iklim di Indonesia.
Upaya
kegiatan mitigasi perubahan iklim di Indonesia meliputi serangkaian kegiatan
yang dilakukan dalam upaya menurunkan tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak perubahan iklim. Sedangkan, upaya
adaptasi perubahan iklim di Indonesia fokus utamanya adalah meningkatkan
kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman
iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga dapat mengurangi potensi kerusakan
akibat perubahan iklim, peluang yang ditimbulkan perubahan iklim dapat
dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi.
Saat
ini, Indonesia telah mengalami dampak dari perubahan iklim sebagai akibat dari
iklim yang mengalami perubahan. Salah satu dampak perubahan iklim di Indonesia
(di era Covid-19) yaitu, terjadinya banjir bandang di Kalimantan Selatan pada
Januari 2021. Banjir bandang tersebut menimpa beberapa kota dan kabupaten di
Kalimantan Selatan, yaitu Kota Banjarmasin, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten
Banjar, Kabupaten Tapin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Hulu Sungai Tengah,
Kabupaten Balangan, dan Kabupaten Hulu Sungai Utara (Sumber wiki). Sebagai akibat dari kejadian tersebut, lebih dari
112 ribu warga mengungsi (Sumber kompas).
Dampak perubahan iklim yang sering terjadi seperti tanah longsor, curah hujan
atau cuaca yang tidak menentu, kekeringan, turunnya produksi pangan, terganggunya
ketersediaan air bersih, tersebarnya hama dan penyakit tanaman, serta penyakit
manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya
keanegaraman hayati. Menurut sebuah laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) tahun 2016, menyatakan bahwa dampak perubahan iklim akan
meningkat sejalan dengan berlanjutnya peristiwa perubahan iklim. Sebagian besar
aspek perubahan iklim akan bertahan selama berabad-abad bahkan jika emisi gas
rumah kaca dapat dihentikan. Hal yang memperparah kondisi tersebut adalah
keadaan bahwa sebagian besar dampak dari peristiwa perubahan iklim tentunya
tidak dapat diubah dan risiko kerusakan akan terus mengalami peningkatan secara
terus-menerus. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus berkomitmen tinggi
atas aksi pengendalian perubahan iklim dalam menurunkan emisi gas rumah kaca
dan meningkatkan ketahanan nasional atas dampak perubahan iklim dalam menunjang
pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Sebagai
upaya penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan dengan cara mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim, pemerintah Indonesia ikut tergabung dalam Kyoto Protocol. Kyoto
Protocol mulai disusun pada 1997. Protokol ini berisi sebuah pendekatan
yang akan dilakukan oleh negara-negara di dunia dalam mengurangi gas rumah
kaca. Kyoto Protocol disusun tepatnya
setelah UNFCCC disetujui pada 1992 di Rio de Jeneiro, Brazil. Negara-negara
yang tergabung dalam UNFCCC mulai melakukan negosiasi-negosiasi untuk membentuk
suatu aturan yang lebih detil dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Kemudian, pada
pertemuan tahunan dalam UNFCCC ke-3 (Conference
of parties atau COP-3) yang diadakan di Kyoto, Jepang, maka Kyoto Protocol mulai diadopsi sebagai
pendekatan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Indonesia mulai meratifikasi Kyoto Protocol melalui pengesahan
Undang-Undang No 17 tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC).
Pada
2007 Indonesia berkesempatan menjadi salah satu tuan rumah bagi pertemuan
tahunan UNFCCC. Kemudian, pada 2011 Indonesia menerbitkan dokumen Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN-GRK). RAN-GRK tahun 2011 diterbitkan untuk
memberikan kerangka kebijakan untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak
swasta, dan para pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan upaya mengurangi emisi GRK
dalam jangka waktu 2010 – 2020 sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP 2005 – 2025) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RAN-GRK ini
mencakup aksi mitigasi di lima bidang prioritas, seperti pertanian, kehutanan
dan lahan gambut, energi dan transportasi, industry dan pengelolaan limbah.
Selain itu, kegiatan pendukung lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari perencanaan pembangunan nasional yang mendukung prinsip pertumbuhan
ekonomi, pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan.
Kemudian
pada 2014, pemerintah Indonesia mengeluarkan dokumen RAN-API (Rencana Aksi
Nasional Adaptasi Perubahan Iklim). Dokumen ini disusun dengan tujuan untuk
membantu masyarakat dalam mempersiapkan upaya adaptasi atau penyesuaian
terhadap dampak perubahan iklim dalam jangka waktu 2013 – 2025. Sasaran dari
RAN-API adalah dapat membentuk sistem pembangunan adaptif yang mencakup
ketahanan ekonomi, sistem kehidupan, ketahanan ekosistem, wilayah khusus, dan
sistem pendukung. Dengan demikian, diharapkan akan terselenggaranya sistem
pembangunan yang berkelanjutan dan memiliki ketahanan tinggi terhadap dampak
perubahan iklim.
Selanjutnya,
pada 2015 dilakukan pertemuan tahaunan COP-21. Pada COP-21 negara-negara di
dunia menyepakati Perjanjian Paris (Paris
Agreement). Salah satu tujuan Perjanjian Paris yaitu dapat menciptakan
kesetaraan dan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan sesuai kapabilitas
masing-masing negara, dan dengan mempertimbangkan kondisi nasional yang
berbeda-beda. Kemudian, Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris sesuai dalam
Undang-Undang No 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to UNFCCC. Sebagai bagian tak terpisahkan dari
hasil ratifikasi Paris Agreement,
maka disampaikan pula NDC (Nationally
Determined Contribution pada 2016. Dokumen NDC berisi rencana transisi
Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim. Selain itu,
di dalam NDC tertuang target penurunan emisi tanpa bantuan dari luar negeri (unconditional) sebesar 29% dan target
penurunan emisi jika mendapat bantuan dari luar negeri (conditional) sebesar 41% dibandingkan sekenario business as usual
(BaU) pada 2030. Berdasarkan dokumen NDC, target penurunan emisi pada 2030 sebesar
834 juta ton CO2e pada target unconditional
(CM1) dan sebesar 1.081 juta ton CO2e pada target conditional (CM2). Untuk memenuhi target
tersebut, maka pemerintah melakukan berbagai aksi mitigasi pada semua sektor oleh
penanggung jawab aksi mitigasi.
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga berkah.