Skip to main content

Titrasi Asam Amino

 


Gambar 1. Kurva titrasi glisin

KARAKTERISTIK ASAM AMINO PADA KURVA TITRASI

Titrasi asam-basa merupakan proses penambahan titran secara perlahan (sedikit demi sedikit) untuk mengetahui konsentrasi analit yang belum diketahui dengan menggunakan asam atau basa. Analit tersebut berupa asam amino, misalnya asam amino glisin. Pada Gambar 1 dapat dilihat kurva titrasi dari glisin dalam bentuk ion diprotik (zwitter ion) dengan konsentrasi glisin sebesar 0.1 M.

Dari kurva titrasi glisin (Gambar 1), pada pH  yang sangat rendah (pH <<< pKa), maka sebagian besar glisin akan terprotonasi dalam bentuk +H3N-CH2-COOH (donor proton), sehingga molekulnya bermuatan +1. Kemudian setelah basa ditambahkan (dititrasi), maka gugus –COOH dari glisin akan melepaskan protonnya atau hampir terdeprotonasi secara sempurna sehingga akan membentuk +H3N-CH2-COO dengan muatan 0. Kemudian dilakukan titrasi lagi, maka gugus –NH3+  pada asam amino diprotik tersebut akan  terdeprotonasi secara sempurna membentuk H2N-CH2-COO-  dengan muatan -1. Ketika pKa1 =2,34, artinya setengah dari glisin (gugus pertama) telah menjadi basa konjugasi, sementara setengah sisanya masih dalam bentuk asam. Oleh karena itu, konsentrasi asam akan sebanding dengan konsentrasi basa konjugasi, sehingga nilai pKa1 akan sebanding juga dengan nilai pH glisin tersebut, yaitu 2,34. Gugus yang pertama kali akan terdeprotonasi adalah gugus yang memiliki kekuatan asam lebih kuat, dalam hal ini adalah gugus karboksil. Sedangkan, gugus amino akan terdeprotonasi setelah gugus karboksil habis dititrasi oleh basa. Sehingga, gugus amino akan habis terdeprotonasi pada pKa 9,60. 

Dari kurva titrasi glisin, terdapat titik yang dinamakan dengan titik isoelektrik (pI). Titik isoelektrik dari glisin yang terlihat dari kurva tersebut yaitu sekitar pH 5,97 yang artinya ketika larutan glisin berada dalam titik isoelektriknya, maka sebagian molekul akan berada dalam bentuk +H3N-CH2-COOH dan sebagin berupa H2N-CH2-COO-. Dengan demikian, titik isolektrik dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:

Beberpa asam amino bentuk terdisosiasinya tidak sesederhana glisin. Ada beberapa asam amino yang memiliki rantai samping prototropik. Asam amino yang memiliki rantai samping prototropik dapat mengalami disosiasi yang lebih panjang dan sedikit rumit. Ada pun asam amino yang memiliki rantai samping prototropik, yaitu asam aspartat dan asam glutamat memiliki gugus  karboksil tambahan, histidin dengan gugus imidazol nya, lisin dengan gugus amino nya, dan arginin dengan gugus guanidino nya. 

Berbagai gugus dalam asam amino dapat memiliki muatan yang bergantung pada pH larutan, bentuk terprotonasi pada gugus karboksil dan rantai samping tirosin, yaitu tak bermuatan, sedangkan bentuk terdeprotonasinya bermuatan negatif. Ada pun,  bentuk terprotonasi pada gugus amino dengan rantai samping imidazol pada histidin serta pada gugus guanidino arginin, semuanya memiliki muatan positif. Sedangkan bentuk terdeprotonasi gugus-gugus tersebut tidak bermuatan.

Sebagai latihan coba analisis hasil titrasi dari asam glutamat berikut!



Gambar 2. Kurva titrasi asam glutamat


Comments

Popular posts from this blog

Struktur Protein: Primer, Sekunder, Tersier dan Kuartener

  STRUKTUR PRIMER Struktur primer merupakan struktur protein paling sederhana. Struktur primer ditandai dengan urutan asam amino yang tersusun secara linear dan tidak terjadi percabangan rantai. Struktur primer terbentuk melalui ikatan antara gugus α–amino dengan gugus α–karboksil. Ikatan tersebut dinamakan ikatan peptida (Berg et al. , 2006). Struktur ini dapat menentukan urutan suatu asam amino dari suatu rantai polipeptida (Voet & Judith, 2009). Struktur primer protein dengan urutan Tyr-Gly-Gly-Phe-Leu dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Struktur primer protein yang tersusun atas Tirosin (Tyr), Glisin (Gly), Glisin (Gly), Fenilalanin (Phe), dan Leusin (Leu) STRUKTUR SEKUNDER Struktur sekunder protein merupakan kombinasi antara struktur primer yang distabilkan oleh ikatan kimia, salah satunya adalah ikatan hidrogen antara gugus karboksil dan gugus amina di sepanjang tulang belakang polipeptida. Salah satu contoh struktur sekunder adalah α-helix, β-pleated sheet dan turn. Str

ASAM AMINO DAN STRUKTUR SERTA SIFAT-SIFATNYA

ASAM AMINO Asam amino merupakan komponen penyusun protein, setiap asam amino terdiri dari gugus karboksilat   (-COOH)  dan gugus amino serta yang membedakan asam amino satu dengan asam amino lainnya yaitu dengan adanya rantai samping (R). Sruktur umum asam amino seperti Gambar 1 berikut. Gambar 1. Struktur umum asam amino . Dari Gambar 1 telihat bahwa: Atom C pusat dinamai atom C α  (" C-alfa ") sesuai dengan penamaan senyawa bergugus karboksil. Oleh karena gugus amina juga terikat pada atom C α , senyawa tersebut merupakan asam α- amino. Asam amino biasanya diklasifikasikan berdasarkan sifat kimia dari masing-masing rantai samping penyusun asam amino. Hal ini karena adanya rantai samping dapat membuat asam amino bersifat asam lemah, basa lemah, hidrofilik jika polar, dan hidrofobik jika nonpolar. STEREOISOMER ASAM AMINO Stereoisomer merupakan suatu bentuk senyawa yang sama strukturnya dalam hal penataan ruang namun berbeda posisi unsur-unsur penyusunnya. St

Struktur dan Fungsi Protein

PROTEIN PEPTIDA Protein merupakan suatu polimer yang dibentuk oleh asam-asam amino. Asam amino akan terhubung dengan asam amino lainnya melalui gugus α- karboksil. Ikatan antara asam amino satu dengan asam amino lainnya melalui gugus α- karboksil dinamakan dengan ikatan peptida atau ikatan amida. Pembentukan ikatan peptida antara dua asam amino dinamakan dengan dipeptida (Gambar 1). Gambar 1 . Pembentukkan ikatan peptida. Gabungan dari dua asam asam amino diikuti oleh lepasnya satu molekul air. ( Sumber: Biochemistry, 7th Edition W.H. Freeman and Company ) Dari reaksi kesetimbangan pada Gambar 1, reaksi lebih condong ke kiri atau ke arah degradasi ikatan peptida. Karena pada saat proses pembentukkan (biosintesis) ikatan peptida reaksi membutuhkan energi yang cukup besar sehingga proses biosintesis berlangsung sangat lambat, sedangkan ketika proses degradasi dipeptida ke bentuk asam amino, energi yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Dengan demikian, proses degradasi ikata